Sunday 13 March 2016

Dhammadesana Kematian

kematian
Kematian dapat diumpamakan sebagai pelita atau lilin dan sejenisnya. ada 4 faktor penyebab pelita atau lilin padam, yang pertama sumbu habis, ke dua minyaknya habis, yang ke tiga minyak dan sumbu habis, dan yang terakhir faktor lainnya seperti terkena air, tertiup angin, atau jatuh dan akhirnya mati. Kematian bagaikan pelita atau lilin, suatu saat akan mati yang dikarenakan yang pertama: usia telah habis, itu bagaikan sumbunya telah habis, yang kedua: karmanya sudah habis atau bisa di umpamakan minyak pelita sudah habis, yang ketiga karma dan usia telah habis, itu bagaikan minyak dan sumbu habis, yang terakhir karena sesuatu hal yang disebabkan karena kecelakan, bisa jatuh darri motor, kecelakaan pada saat kerja dan lain sebagainya itu diibaratkan pelita yang diterjang angin atau terguyur air atau bisa juga karena jatuh dan akhirnya mati. Seperti telah di jelaskan dalam Dhammapada 277,278,279

sabbe sankhara aniccati / dukkhati / dhamma anittati
yada pannaya passati
atha nibbindati dukke
esa maggo visuddhiya
semua yang terbentuk tidak kekal/ dukkha/ bukan aku
bila dengan bijaksana orang melihat semua itu
maka penderitaan itu tidak akan ada lagi
inilah ajaran untuk mencapai kesucian
Dalam parita tersebut sudah sangat jelas bahwa dengan menyadari dengan bijaksana  akan mendapatkan kebahagiaan. Jadi seandainya ditingalakan orang yang disayangi janganlah berlarut-larut dalam kesedihan karena hanya akan menimbulkan atau menambah penderitaan. Seperti juga di jelaskan dalam SALLA SUTTA 575,576
Suatu makhluk, sekali dilahirkan, akan mengalami kematian, dan tidak ada jalan keluar darinya. Ketika usia tua atau penyebab lain tiba, maka kematian pun datang. Demikianlah adanya makhluk hidup.
(575)
Ketika buah-buahan masak, mereka mungkin akan jatuh di pagi hari. Seperti itu pula halnya suatu makhluk, sekali dilahirkan, bisa mati kapan pun juga.
(576)

Jadi sesuatu yang dilahirkan itu akan mengalami kematian dan tidak ada jalan keluar dari kematian, di ibaratkan buah yang sudah masak tidak tau kapan akan jatuh, seperti halnya kita, kita tidak tau kapan kematian akan datang kepada kita.
Jadi setelah mengerti dan menyadari semua itu hendaknya juga mengerti dan menyadari tentang semua yang ada di dunia ini terutama badan jasmani, seperti juga di jelaskan dalam MAHA PARINIBBANA SUTTA (D.II.16) yang intinya Sang Buddha memberikan Khotbah tentang beberapa aspek yg paling mendasar dan penting dalam ajaran Sang Buddha yaitu : semua yang terjadi adalah dukkha (penderitaan), anicca (ketidak kekalan), Anatta (tanpa aku). Saudara- saudara sedhamma kita harus menyadari 3 hal ini, dukkha, anicca, anata. Diimana hidup didunia ini tidak mungkin lepas dari penderitaan(dukkha), ditinggal orang yang disayangi adalah suatu penderitaan, atau yang anak muda-muda sekarang diputusin pacar menderitanya luar biasa. Padahal kalau menyadari semua itu bahwa hidup didunia ini itu tidak lepas dari penderitaan maka hidup ini tidak akan menderita. Yang kedua adalah anicca(ketidaka kekal), bahwa tak ada yang abadi didunia ini seperti yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha Gautama didalam WIJAYA SUTTA bahwa tubuh ini atau badan jasmani ini tidaklah kekal, tetapi seorang dungu karena ketidaksadarannya (avidya) mempunyai anggapan bahwa badan jasmani ini adalah satu rupa atau bentuk-bentuk perwujudan yang baik sekali tanpa disadari jika badan ini mati sebagai bangkai didalam kuburan bengkat-bengkak, biru-biru mungkin dimakan cacing-cacing dan binatang lainya angota keluarga kita tidak ada yang menginginkannya lagi. kita harus menyadari bahwa wajah yang cantik ini tidak kekal, wajah yang ganteng ini tidaklah kekal. Seaandainya saudara-saudara mengerti semua itu maka kita akan bahagia. Yang ketiga adalah anatta (tanpa aku)yang dimaksud tanpa aku adalah tidak ada jiwa yang kekal atau jasmani ini tidak kekal, jadi badan jasmani ini nantinya juga akan lenyap atau akan kita tinggalkan, jadi tidak ada aku atau hanyalah nama dan rupa tidaklah kekal, semuanya berubah setiap saat, apabila nanti kita meninggal jasmani ini sudah tidak jadi milik kita, jadi yang dimaksudkan tanpa aku adalah nama dan rupa itu ketidak kekalan.
Sang Buddha juga pernah bersabda :
"Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata
atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha,
tetaplah berlaku suatu hukum,
suatu kesunyataan yang mutlak
bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,...
tidak memuaskan,...dan tanpa inti ...."
(Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124)
jadi dengan bijaksana dan menyadari semua itu maka hidup ini akan bahagia.

Dalam kehidupan Sang Buddha ada sebuat kisah seorang ibu yang bernama kisagotami. Kisah gotami ini mempunyai seorang anak yang masih kecil,,,, pasti seorang ibu jika memiliki anak pasti bahagiannya luar biasa, tapi suatau ketika anaknya jatuh sakit dan anaknya meninggal. Kisagotami sangat sedih kehilangan anaknya. Dia tidak merelakan anaknya meninggal sampai-sampai dia berfikir untuk mencari obat bagaimana agar anaknya bisa hidup kembali, kisagotami ini menemui sang buddha dan memohon kepada sang buddha untuk menghidupkan anaknya kembali. Sang buddha menjawab “saya akan menghidupkan anakmu kembali dengan satu syarat, syaratnya adalah kamu harus mencari biji lada dari keluarga yang belum pernah ditinggalkan keluarganya, kisagotamipun pergi mencari biji lada dari keluarga yang belum pernah ditinggalkan.
Kisagotami                    : “tok..tok...tok.... permisih buk apakah ibuk mempunyai biji lada????
Rumah tangga   `           : Iya punya....
Kisagotami                    : Boleh saya minta buk...
Rumah tangga               : Boleh!!!!
Kisagotami                    : Buk apakah ibu belum pernah ditinggalkan sanak keluarga?????
Rumah tangga               : Oh 2 hari yang lalu anak suami saya meninggal
Kisagotami                    : Oohhh iya buk, tidak jadi....
Kisagotamipun pergi dan berpindah rumah dari satu rumah kerumah lainnya untuk mencari biji lada dari keluarga yang belum pernah di tinggalkan. Tapi dia tidak menjumpai satu keluarga yang memiliki biji lada dari keluarga yang belum pernah di tinggalkan, kisa gotamipun akhirnya tersadar bahwa semua orang pernah mengalami yang dia rasakan. Akhirnya dia memakamkan anaknya dan menemui sang buddha kemudian menjadi seorang bhikkhuni.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair Dhammapada 114 berikut:
“Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian (Nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat “keadaan tanpa kematian”.”
Dari kisah tersebut terdapat pelajaran yang sangat berharga bahwa didunia ini tidaklah kekal tanpa aku yang kekal dan semua tidak lepas dari penderitaan jadi kita harus memandang semua itu dengan bijaksana agar memperoleh kebahagiaan.

Kembali lagi pada pelita atau lilin...Hidup itu bagaikan pelita atau lilin. Gunakanlah hidup ini laksana pelita yang membawa cahaya dari suatu kegelapan, jadikanlah hidup ini bermanfaat bagi orang lain maupun diri sendiri sehingga akan memperoleh kebahagian, baik kehidupan sekarang atau yang akan datang.


No comments:

Post a Comment